Bentala Aksara Bestari

Penerbitan Buku, Bisnis Underrated Yang Menggeliat

Dalam lanskap penerbitan buku, bisnis penerbitan sendiri seringkali terabaikan sebagai ladang investasi yang menjanjikan. Artikel ini mengupas potensi dan keberanian penerbitan buku sebagai bisnis yang underrated namun cukup berkembang. Penerbit-penerbit kecil dan inovatif menjadi kekuatan pendorong, menemukan celah di pasar untuk menyorot karya-karya berkualitas yang mungkin terlewatkan oleh penerbit besar. Penerbitan buku dianggap sebagai bisnis yang lemah dalam menghadapi dinamika binis tanah air. Namun justru paska pandemi covid 19 penerbitan buku menjadi salah satu bisnis yang memiliki kekuatan untuk bertahan dari krisis ekonomi yang terjadi. Bagaimana bisnis penerbitan buku menjadi salah satu sektor bisnis yang dapat bertahan, berikut ulasannya.

Buku dan Linimasa

Hari-hari ini buku menjadi sebuah komoditi modern yang dihasilkan dari kebutuhan informasi dan keterbukaan akses informasi. Buku menjadi salah satu format paling sesuai dengan kebutuhan pengetahuan dan kemampuan panca indra manusia mengolah data secara organik. Perkembangan teknologi saat ini belum dapat menggantikan peran dan esensi yang dihasilkan secara fisik maupun kontekstual sebuah buku. Teknologi hanya merubah bentuk buku menjadi media layar saja, namun format maupun struktur isi belum dapat merubah buku secara utuh. Namun yang menarik adalah perubahan fungsi dan nilai buku yang secara harfiah bergeser dari karya sastra, media komunikasi maupun pengikat pengetahuan, dalam hal ini tidak memiliki nilai ekonomi hanya sebagai nilai seni.

Jauh sebelum kertas papirus ditemukan dan menjadi cikal bakal buku modern yang menggunakan media lembar, manusia purba lebih dulu mengekspresikan kreativitas dalam bentuk gambar maupun simbol yang kemudian menjadi huruf-huruf pada dinding-dinding gua, kulit-kulit hewan seperti rusa dan sapi. Kemudian sekitar 2400 SM kertas papirus menjadi salah satu media gambar yang menggantikan permukaan batu. Sekitar 600 Masehi kemudian lahirlah Illuminated Manuscript yang dipercaya sebagai buku gambar pertama dengan pewarnaan yang cukup menyala.

Setelah temuan kertas papirus, mulai tumbuh beberapa inovasi seperti yang dilakukan bangsa romawi dan yunani dengan menggunakan lapisan lilin agar dapat dihapus. Permukaan kertas akan dituangkan lilin, kemudian mereka menggambar di atasnya dan ketika selesai mereka akan menghapus lilin-lilin tersebut serta memulai kembali dengan lilin baru. Kemudian semakin berkembanglah inovasi serta macam buku pra modern, dari pemanfaatan hewan maupun tumbuhan. Konon buku yang pertama kali dicetak diatas “kertas” dibuat di cina, dimana kertas tersebut terbuat dari murbei, tanaman rami, kulit pohon dan bahkan dari bubur ikan.

Secara bertahap kertas-kertas yang berisi tulisan, gambar, dan simbol lainnya dikumpulkan menjadi berbentuk buku seperti saat ini. Buku yang terkumpul dari lembaran-lembaran kertas ini berisi informasi penting, ajaran agama secara tertulis, pengalaman baik maupun buruk yang dijadikan cerita atau kisah untuk pengingat manusia generasi berikutnya. The Epic of Gilgamesh adalah salah karya sastra tulis tertua dan teks keagamaan tertua kedua yang selamat setelah teks piramida. Epic of Gilgamesh berisi tentang kisah-kisah dan mitos tentang Gilgamesh, seorang raja dari Babilonia yang memerintah sekitar tahun 2.700 SM pada sebuah kerajaan di wilayah sepanjang sungai Eufrat, pada saat ini menjadi bagian wilayah Irak.

Dalam peradaban modern kemudian lahirlah beberapa momen sejarah yang melahirkan buku modern pada saat ini. Jijki yang dicetak bangsa Korea di abad 14, Jerman membangun mesin cetak untuk memproduksi Alkitab, dan di Venesia seorang bernama Aldus Manutius yang ingin mendokumentasikan kisah Yunani kuno. Rangkaian momen ini kemudian membangkitkan geliat perbukuan dunia meskipun saat itu dunia masih belum terhubung seperti saat ini. Pecahan – pecahan puzzle perbukuan dunia memberikan gerakan literasi dunia kedalam sebuah ekosistem yang kemudian terbangun secara modern dan efisien.

Melompati jauh linimasa, empat abad kemudian pada abad 18 atau dicatat buku-buku sejarah tahun 1832 – lahirlah buku dengan sampul. Sampul buku ini menjadi proses perkembangan perbukuan dalam sejarah manusia, akhirnya manusia bisa membedakan, mengklasifikasikan, mengkategorisasikan, memisahkan lembaran-lembaran yang dikumpulkan menjadi sebuah buku dengan tema atau isi konten tertentu. Bahkan hadirnya sampul menggerakkan nilai seni dalam buku menjadi nilai ekonomi, buku-buku kemudian menjadi satu barang yang dipertukarkan dengan benda atau satuan nilai uang modern. Serta berlanjut di abad 19 mulai tumbuh percetakan-percetakan yang membuat buku-buku modern saat itu. Percetakan-percetakan ini kemudian akan tumbuh besar menjadi penerbit buku, beberapa diantara industri penerbit awal adalah penerbit Random House dan penerbit Penguin. Keduanya kemudian menjadi salah satu penerbit tua tersukses hingga saat ini, bukunya kemudian berevolusi dalam bentuk digital seperti buku dalam tape dan CD/DVD (Compact Disc, dengan format file buku maupun audiobook) dan buku elektronik – seperti kindle, google books, dan lain sebagainya.

Penerbitan Buku Menjadi Bisnis dan Buku Menjadi Komoditi

Perkembangan informasi yang pesat dan cepat berimplikasi pada biasnya kualitas informasi yang didapatkan oleh manusia. Dampaknya memungkinkan penyampaian informasi yang salah atau pembenaran pada sesuatu yang buruk. Hal ini mendorong manusia berfikir serius membatasi penyebaran informasi dengan membuat sistem saring informasi terutama dalam validasi pengetahuan manusia. Revolusi pengetahuan, seni, dan teknologi secara perlahan membuat sudut pandang manusia menjadi sangat luas. 

Kondisi ini pun terjadi pada buku, dialektika buku berkualitas menjadi sangat variatif serta meluas. Pergeseran paradigma dalam buku ini cukup kentara, buku sebagai karya seni sastra dan dalam beberapa hal menjadi sangat sakral, bergerak dan terasosiasi kepada komoditas pasar. Jelas perubahan ini menciptakan dinamika baru dalam industri penerbitan dan membuka diskusi tentang dampaknya terhadap nilai sastra dalam masyarakat, penulis serta dunia literasi. Perubahan atau bergeraknya nilai karya sastra pada buku menuju entitas bisnis dimulai dari ketidaksengajaan yang terjadi dalam sejarah peradaban manusia.

Adanya tekanan, penindasan, serta marjinalisasi terhadap sekelompok atau lebih bagian masyarakat menghadirkan pemikiran-pemikiran melawan, serta menyebarluaskannya melalui media-media ekspresif salah satunya lembaran-lembaran kertas. Gerakan perubahan ini dimulai dari masyarakat-masyarakat terdidik dan seniman yang mulai menjadikan kertas, buku, maupun media cetak lainnya sebagai media melawan. Buku – buku tersebut menghasilkan banyak pemikiran serta hasrat melawan yang telah lama dilucuti secara paksa oleh struktur penguasa. Max Havelaar pada tahun 1860-an pernah membuat buku dan menggemparkan Belanda, karena membahas tentang penindasan negaranya di hindia belanda waktu itu. Tidak hanya itu banyak buku yang kemudian mengubah dunia diantaranya, das kapital karya karl marx, The Muqaddimah karya Ibn Khaldun, Wealth of Nations, dan banyak lagi. Intinya pemikiran-pemikiran ini membangunkan keinginan membaca, menyebarluaskan, dan mengimplementasikan ulang apa yang menjadi pikiran tersebut. Kebutuhan-kebutuhan serta permintaan terhadap buku-buku yang sudah terdistribusi secara fisik maupun pikiran menggerakan roda-roda bisnis secara tidak langsung.

Modernitas membawa pergeseran konsumsi dan struktur kebutuhan manusia, skema kebutuhan tidak lagi berdasarkan primer, sekunder maupun tersier secara mutlak. Dalam kondisi dan kemampuan tersebut dapat mengaburkan kebutuhan manusia modern, termasuk buku. Buku menjadi salah satu bagian struktur kebutuhan manusia yang bergeser dari tersier menjadi sekunder bahkan primer. Hasilnya baik penerbit, penulis maupun pembaca menjadi struktur bisnis modern saat ini. Dorongan mencetak buku dalam jumlah besar dan masif demi mencapai penjualan atau memenuhi kebutuhan yang tinggi, seringkali mengubah tujuan penerbitan dari penciptaan karya sastra yang memiliki nilai positif maupun berbobot menjadi produksi massal yang bersifat komersial. Saat karya sastra dihasilkan dengan cepat untuk memenuhi permintaan pasar, nilai estetika dan keunikan sastra dapat dikompromikan. Semua dapat dikompromikan dengan mensubstitusikan nilai-nilai dalam buku.

Akhirnya sangat wajar buku saat ini menjadi sebuah komoditas yang cukup dibutuhkan dalam dunia literasi modern maupun kebutuhan masyarakat modern. Transformasi buku dari sastra menjadi komoditas menciptakan dinamika baru di dunia penerbitan. Meskipun ada kekhawatiran terhadap penurunan nilai sastra, masih ada upaya untuk memelihara keaslian dan keindahan dalam karya-karya sastra. Bagaimanapun, penting untuk memahami bahwa sastra memiliki nilai yang melampaui aspek komersial, dan upaya bersama harus dilakukan untuk menjaga kekayaan dan keunikan sastra dalam masyarakat.

Akselerasi Penerbitan Buku Dalam Ekonomi Indonesia

Data yang disajikan IKAPI, pada tahun 2013 – 2014 nilai ekonomi dan finansial yang berputar di sektor perbukuan mencapai 7,3 triliun rupiah di tahun 2013 dan 8,5 triliun rupiah di tahun 2014. Nilai ekonomi ini diambil dari data penjualan yang berputar di toko buku online maupun offline, nilai proyek, dan nominal buku sekolah yang diproduksi pemerintah. Nilai ini cukup besar untuk salah satu bagian industri kreatif yang sedang dibangun oleh pemerintah Indonesia. Data pangsa pasar yang dinilai dari jumlah penduduk indonesia tahun 2014 sekitar 150 juta menghasilkan nilai pangsa pasar senilai 14,1 Triliun. Artinya jika dibandingkan dengan tahun 2023 misalnya dengan jumlah penduduk sebanyak 278 Juta, nilainya 180% dari tahun 2014. Menilai pangsa pasar dengan asumsi perhitungan yang sama pada saat 2014, maka pangsa pasar yang mungkin tersedia adalah 25,38 triliun.

Penerbitan menjadi salah satu sektor bisnis yang cukup kuat melalui krisis ekonomi saat pandemi covid 19. Walaupun terkena dampak krisis covid 19, namun justru penerbitan buku ini tercatat positif dalam proses pengajuan judul buku yang akan dipasarkan. Sebagian pengamat mempertanyakan eksistensi buku dari sudut pandang transaksi konvensional (toko buku) yang menurun, tapi sebetulnya penjualan buku cukup baik melalui marketplace dan akses ebook pada platform buku-buku digital. Menurut Anggun Gunawan, Dosen Prodi Penerbitan di Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta, pertumbuhan dan penilaian angka penjualan buku di Indonesia masih bias, karena IKAPI belum melansir nilai pasti untuk mengukur apa yang terjadi pada perbukuan Indonesia. Menurutnya data dari marketplace yang semakin menggeliat karena dianggap menjadi mitra penjualan utama bagi banyak penerbit Indonesia perlu disajikan, Shopee, Tokopedia, dan Lazada beberapa diantara platform yang paling dipilih oleh penerbit.

Geliat transaksi buku secara online didukung oleh perubahan kebiasaan manusia untuk menghabiskan waktu di rumah, dan merubah gaya konsumsi serta transaksi melalui marketplace. Meskipun trend ini tidak terjadi pada semua penerbit, bahkan beberapa penerbit justru melemah selama pandemi covid 19. Mungkin secara akumulasi dampak pandemi covid 19 cukup serius, namun beberapa yang mampu bertahan meskipun sangat terbatas mendapatkan angin positif terutama pada buku-buku pendidikan yang menggantikan aktivitas belajar dalam ruangan dan fiksi – seperti novel. CEO Loveable Grup, Andri Agus Fabianto misalnya penjualan Loveable Group di toko offline mengalami pertumbuhan negatif sebesar 50% selama periode Maret hingga November 2020, sebaliknya penjualan online justru bertumbuh sangat signifikan, 130%. Bahkan, profit (netto) Loveable Group di 2020 juga bertumbuh. Jelas setelah pandemi covid 19, penerbitan buku Indonesia memasuki babak baru dalam media penjualan, bentuk dan format penerbitan yang semakin berkembang. Menurut Anggun penerbit-penerbit vanity atau subsidy publisher atau yang biasa disebut dengan penerbit indie, menjadi salah satu format penerbitan yang bertahan lebih kuat dan secara performa bisnis cukup lincah dan gesit melewati masa-masa sulit. Selain itu buku digital juga menjadi alternatif dari meningkatnya biaya atau modal yang diperlukan dalam proses produksi. Secara penjualan buku digital atau ebook semakin memiliki tempat pada masyarakat Indonesia, terutama generasi milenial dan generasi Z. Diantaranya beberapa perusahaan yang beroperasi mendukung bertumbuhnya akses ebook, Google Book, Amazon melalui kindle dan beberapa agensi lokal seperti Gramedia Digital, Aksara Maya, dan Kubuku.

Perubahan yang terjadi pasca pandemi mendorong setiap penerbitan buku lebih lugas, kreatif dan efisien dalam mengelola perusahaannya. Tantangan berikutnya adalah memastikan kreativitas harus berkolaborasi dengan baik dengan pengetahuan dan norma sehingga menghasilkan buku-buku yang memiliki kualitas yang baik. Penerbit Bentala adalah salah satu penerbitan yang akan menghadapi masa-masa ini, memastikan setiap buku yang diterbitkan memiliki nilai yang dapat diserap positif oleh masyarakat Indonesia. Penerbit Bentala mencari penulis Indonesia yang memiliki naskah-naskah terbaik, memiliki pengetahuan terbaru dan bernilai positif bagi pembaca Indonesia. Klik disini untuk mempelajari lebih lanjut.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat ke Ben!
Ada yang bisa kami bantu?
Halo 👋
Salam literasi...
Ada yang bisa bentala bantu?