Kelompok Penerbit Bentala

Rekam waktu Penerbitan Buku di Indoensia

Sejarah panjang buku di indonesia mencatatkan pertumbuhan penerbitan buku yang menarik, grafik yang disajikan Perpustakaan Nasional menunjukkan perubahan paradigma buku sebagai entitas bisnis di Indonesia. Keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat yang membaik di Indonesia mendukung pertumbuhan ekosistem perbukuan nasional. Data yang disajikan Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan Perpustakaan Nasional Tahun 2023 (Pus Biola Perpusnas), menunjukan kenaikan yang positif setelah reformasi – pasca 1998. Pertumbuhan industri penerbitan yang cukup signifikan dilihat dari jumlah pengajuan ISBN terlihat mulai tahun 2008 hingga 2022, catatan tertinggi permintaan ISBN adalah pada tahun 2021 dengan permintaan 147.404 judul dan 159.330 nomor ISBN. Tahun 2022 menjadi ceruk negatif terbesar pengajuan ISBN di perpustakaan nasional selama periode pertumbuhan jumlah buku periode 2008 – 2022, namun grafik yang tersaji menunjukan perbandingan yang tetap signifikan dibandingkan sebelum reformasi 1998.

Perkembangan penerbitan buku dan perubahan paradigma bisnis buku di indonesia dapat dilihat dari 4 masa. Hingga tahun 2022 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mencatat terdapat 1.031.433 judul dan 1.140.405 nomor yang dikeluarkan selama 36 tahun sejak tahun 1986.

Penerbitan Buku Masa Nusantara

    Mpu Tantular, Mpu Prapanca, dan Mpu Gandring adalah tiga penulis yang karyanya masih dikenal hingga saat ini. Kitab Sutasoma, kitab Negarakertagama, kitab Pararaton sebagai karya buku yang menjadi bukti sejarah perkembangan buku nusantara. Budaya tulis menulis nusantara menjadi pelopor penerbitan serta perkembangan buku tanah air. Pada masa nusantara ini buku-buku yang tersedia sangat sederhana, terdiri dari naskah tulisan kuno menggunakan aksara dan simbol, bahkan sebagian masih dalam bentuk gulungan-gulungan dari media daun lontar yang ditulis tangan oleh para mpu. Meskipun demikian buku-buku yang tersedia telah memiliki bahasan yang cukup variatif, mulai dari babad, pengetahuan, karya sastra, teks-teks kerajaan, ayat-ayat ajaran agama, dan tulisan-tulisan lainnya sebagai bentuk ekspresi.

    Abad 16 bersamaan dengan masuknya ajaran agama islam dan kristen yang dibawa oleh para pedagang dan penjelajah eropa, buku-buku, kitab dan buku dakwah kemudian semakin tersebar di nusantara, hal ini menjadi penanda babak baru perbukuan nusantara. Buku-buku dihadirkan dengan tujuan menyebarluaskan ide dan menguatkan pengakuan terhadap ide pikiran teologi di masyarakat. Masa Nusantara berkisar sebelum abad 16, saat kerajaan-kerajaan nusantara masih eksis dan berkembang menjalankan pemerintahan serta kewilayahannya masing-masing.

    Penerbitan Buku Masa Penjajahan

    Masa penjajahan ini dimulai dari perluasan visi dagang dan invasi para pedagang-pedagang dari timur tengah, dataran asia utara, dan eropa. Dalam dunia perbukuan terdapat beberapa momen perkembangan penerbitan buku di tanah air. Tahun 1624 mesin cetak didatangkan dari Belanda untuk menerbitkan literatur Kristen, kemudian tahun 1659 Cornelis Piji mencetak dan menerbitkan Tijtboek (almanac). Pada masa ini nusantara dikenalkan dengan modernisasi perbukuan ala barat, perubahan media dan proses pencetakan buku modern. Abad 16-18 perbukuan yang berkembang di tanah air masih berasal dari kalangan-kalangan pedagang, para invasi, golongan ningrat, orang kaya – tuan tanah atau golongan keluarga kerajaan. Mereka memanfaatkan buku-buku sebagai simbol derajat yang ditampakkan pada masyarakat saat itu. Kelas – kelas dan derajat di masyarakat masih kental sehingga di rentang waktu tersebut, akses buku masih dimonopoli dan hanya mampu diakses oleh kalangan kelas atas.

    Berlanjut pada abad 19, kurun waktu tahun 1903-1928 misalnya – terdapat seratusan novel asli yang terbit, berasal dari karya 12 pengarang peranakan Cina, dan sekitar 3.000 judul buku, pamflet, dan terbitan lainya dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar. Waktu tersebut memberikan gambaran geliat perluasan ketersambungan dunia literasi nusantara dengan dunia “luar”. Karya-karya seni mendapatkan ruang akulturasi dengan budaya lokal yang masih tradisional, kebiasaan bercerita terdampak budaya tulis menulis serta dokumentasi dalam media. Sehingga kemudian akan hadir buku-buku yang berasal dari cerita-cerita masyarakat yang memiliki nilai atau makna untuk mengingatkan kembali pada masa lalu agar pada generasi berikutnya tidak hilang.

    Pada masa pendudukan Belanda di sekitaran Hindia-Belanda, Pemerintah Belanda selain mengeksplorasi serta mengeksploitasi nusantara atau cikal bakal Indonesia, mereka membawa budaya literasi modern. Pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka pada 14 September 1908, salah satu penerbit tertua di Indonesia hingga saat ini. Mulanya, lembaga itu bernama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat. Komisi ini telah menerbitkan 153 judul buku dengan penerbitan terbanyak berbahasa Jawa (95 judul) serta berbahasa Sunda (54 judul). Balai Pustaka pada tahun 1928 menerbitkan 20-an novel, dan kemudian menjadi salah satu penerbit nasional yang mendokumentasikan berbagai karya literasi Indonesia. Penerbit ini kemudian menjadi fondasi dan alat negara dalam memberikan literasi teratur serta terkontrol oleh pemerintahan berkuasa.

    Namun di luar Balai Pustaka, terdapat banyak penerbit dan percetakan swasta yang bergerak untuk memperluas semangat kemerdekaan dan persatuan untuk melawan pendudukan pemerintah Belanda saat itu. Surat kabar dan buku yang dianggap terlarang karena berisi perlawanan terhadap pemerintahan tersebar luas secara diam-diam. Beberapa penerbitan milik pribumi yang kemudian menumbuhkan semangat pergerakan kemerdekaan adalah NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Prijaji” pimpinan R.M. Tirto Adhi Soerjo, percetakan Insulinde yang didukung oleh H.M. Misbach yang menerbitkan Mata Gelap (Mas Marco, 3 jilid, 1914) dan percetakan VTSP (Serikat Buruh Kereta Api dan Tram) yang menerbitkan Koran Si Tetap. Selain penerbit-penerbit di atas, masih banyak penerbitan dan percetakan liar lainnya yang kemudian bergerak di bawah tanah, memberikan berita pergerakan dan keberhasilan perlawanan di beberapa tempat lain di seluruh Indonesia. Dengan hadirnya surat kabar maupun buku – buku saat itu mulai tumbuh persatuan dan semangat kemerdekaan atas penjajahan. Selain itu, para pelajar yang belajar di Belanda ikut membawa buku – buku yang memperluas pemikiran kemerdekaan serta terlepas dari kolonialisme. Hasilnya para pelajar, kaum muda berhasil membujuk soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

    Penerbitan Buku Masa Kemerdekaan (Orde Baru – Orde Lama)

    Setelah kemerdekaan Indonesia, industri penerbitan dan percetakan terus berkembang meskipun awal-awal kemerdekaan didominasi oleh surat kabar yang menyebarluaskan berita kemerdekaan Indonesia. Soeara Asia di Surabaya dan Tjahja di Bandung menjadi surat kabar awal yang menyebarluaskan berita kemerdekaan Indonesia. Selama awal kemerdekaan hingga tahun 1950-an, Balai pustaka adalah penerbit yang masih mendominasi perbukuan tanah air. Meskipun pada kurun waktu yang sama bermunculan penerbit-penerbit swasta, seperti Pustaka Antara, Pustaka Rakyat, Endang di Jakarta, Ganaco di Bandung, dan beberapa penerbit di berbagai daerah di Indonesia.

    Semakin ramai dan bertumbuhnya industri penerbitan tanah air telah mendorong berdirinya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada tanggal 17 Mei 1950. Pada waktu itu IKAPI baru beranggota 13-14 penerbit (terdapat 2 versi jumlah anggota saat itu, 13 anggota versi Mahbub Djunaidi dan 14 anggota versi Zubaidah Isa). Berdasarkan data yang dikelola Sekretariat IKAPI, hingga september 2023 jumlah penerbit yang tercatat menjadi anggota IKAPI adalah 2,470 penerbit yang tersebar di 31 Provinsi di Indonesia. 

    Selama periode politik Orde Lama penerbitan buku mengalami pasang surut bisnis, hal ini dipengaruhi dinamika politik yang berubah-ubah. Keterbukaan serta kemerdekaan berpendapat pasca kolonialisme didukung dengan kebijakan subsidi bahan baku percetakan untuk industri penerbitan, telah memberikan pergerakan bisnis buku secara positif. Melalui Yayasan Lektur, lembaga yang dibentuk pemerintah untuk mengontrol harga buku serta mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit-penerbit. Perkembangan penerbitan mengalami pertumbuhan signifikan meskipun sebagian besar masih terpusat di pulau jawa, dari anggota 13 menjadi 600-an anggota terdaftar. Sayangnya perkembangan positif yang terjadi pada penerbitan buku Indonesia pada Orde Lama harus tumbang karena dinamika politik. Sering berubah-ubahnya pandangan politik Soekarno berdampak pada rusaknya stabilitas negara, dan ekonomi mengalami kemerosotan di akhir tahun 1960-an. Perbukuan tanah air pun terkena dampak buruk yang cukup besar, karena hilangnya kemampuan negara dalam memberikan keringanan usaha buku.

    Masa peralihan politik dari pemerintah Orde Lama menjadi Orde Baru hingga 1970-an masih cukup buruk bahkan dapat dikatakan mengalami kemunduran. Alasannya karena harga buku menjadi tinggi, dampak pengalihan biaya subsidi untuk penerbit – hasilnya banyak penerbit yang berhenti beroperasi. Hanya sekitar 25% yang bertahan saat masa peralihan politik tersebut, sisanya karena kesulitan modal kemudian berhenti beroperasi. Perubahan politik dan stabilitas nasional memaksa pemerintah untuk melakukan kebijakan finansial berimbang, beberapa pos keuangan yang dianggap tidak mendesak dialihkan pada pos lainnya.

    Namun sejalan dengan stabilitas negara yang membaik, pemerintah Orde Baru memberikan angin segar dengan mengeluarkan Inpres perbukuan berupa penyerapan buku melalui proyek pengadaan buku-buku untuk sekolah. Dimulai dari tahun 1973, proyek perbukuan ini mendorong gairah penerbitan, termasuk munculnya para penerbit baru. Ikapi menjadi salah satu penggerak proyek ini, seluruh anggota ikapi mendapatkan suntikan dana – karena semua bukunya dibeli pemerintah. Hingga tahun 1980 dan 1990-an penerbit umum diluar Ikapi juga mengalami pertumbuhan positif karena pemerintah memperluas cakupan bantuan keluar lembaga Ikapi pada saat itu. Sayangnya, sistem bantuan ini menumbuhkan banyak praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) sebagaimana lazim terjadi pada masa-masa Orde Baru.

    Kekuasaan yang dominan pada masa orde baru juga memberikan dampak negatif lainnya, karena adanya kontrol politik yang sangat absolut. Hasilnya, banyak buku-buku yang dibatasi dan beberapa penerbit mengalami pembredelan atau larangan operasi karena dianggap mengganggu stabilitas negara. Puncaknya bersamaan dengan krisis ekonomi dan ketidakmampuan negara untuk membuka keran kebebasan serta kemerdekaan rakyat indonesia dalam mengakses bacaan beragam, perbukuan di indonesia mengalami titik lemah berikutnya. Meskipun menjadi awal geliat industri perbukuan yang lebih besar dibandingkan periode sebelumnya.

    Penerbitan Buku Masa Reformasi

    Reformasi menjadi tonggak keterbukaan informasi dan kemerdekaan berpendapat yang lebih luas, termasuk langkah baru penerbitan buku dan perbukuan Indonesia. Meskipun demikian reformasi yang terjadi menghasilkan pengorbanan yang sangat besar, menurut Rozali Usman sebagai ketua Ikapi periode 1993-1998 paling tidak ada tiga dampak yang terjadi pada dunia literasi Indonesia. Tiga dampak krisis tersebut antara lain:

    1. 200 dari 400 penerbit anggota ikapi menghentikan kegiatan bisnisnya
    2. Terjadi gelombang rasionalisasi karyawan dan normalisasi keuangan penerbitan. Hasilnya banyak editor dan karyawan pendukung lainnya yang kemudian dirumahkan
    3. Kenaikan harga cetak dari harga normal sebelum krisis, kurang lebih hingga 30%

    Tahun 1999 adalah pintu terbukanya dan geliat kembalinya industri penerbitan, alasannya adalah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP dicabut dan tidak lagi berlaku. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP adalah surat izin yang diperlukan bagi perusahaan penerbitan dan pers selama Orde Baru apabila ingin menjalankan usahanya. SIUPP dijadikan alat untuk menekan kebebasan pers dan penerbitan, jika Surat Izin usaha Penerbitan Pers ini dicabut maka haram bagi pengusaha atau pemilik perusahaan tersebut menjalankan usahanya. Berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers membuat SIUPP tidak lagi berlaku, dampaknya semakin menjamur perusahaan – perusahaan penerbitan dan pers saat itu, termasuk genre buku yang tersaji.

    Kebijakan pasca Orde Baru relatif lebih mendukung dan memberikan keleluasaan buku untuk terus bertumbuh serta berinovasi. Misalnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2017 tentang sistem perbukuan, negara memberikan kepastian hak dan kewajiban bagi setiap elemen perbukuan dari mulai penulis, penerbit, editor, dan profesi pendukung lainnya. Memberikan kepastian dan kategorisasi yang jelas antara buku pendidikan dan umum, usia pembaca, dan lampiran harga yang dapat memberikan kepastian akses serta keterjangkauan pembaca terhadap buku.

    Namun yang menarik adalah ekosistem perbukuan di indonesia tumbuh secara organik dan naik positif dari tahun 2010-2011. Tahun – tahun ini membuat penerbitan buku sangat seksi terutama dengan terbukanya akses penulis maupun calon penulis pada penerbit. Sebelum tahun 2010, akses penerbit sangat eksklusif – hanya penulis dan karya tertentu yang mampu menarik perhatian penerbit, sisanya hanya menjadi residu sistem penerbitan yang sangat ketat. Selain itu, jumlah penerbit tidak sebanding dengan jumlah penulis dan calon penerbit yang mulai menggeliat secara literasi. Ditambah sistem penerbitan saat itu masih terkonsentrasi pada sistem penerbitan mayor yang memaksa setiap penerbit betul-betul mengetahui dan memahami potensi penyerapan pasar buku pada setiap buku yang diterbitkan.

    Tahun 2010 menjadi titik awal sistem penerbitan minor / self publishing / indie / vanity yang berkebalikan dengan sistem penerbitan mayor, kini sistem penerbitan tersebut tumbuh subur di Indonesia. Sistem-sistem tersebut memberikan akses yang sangat luas untuk menjembatani penulis – calon penulis baik profesional maupun pemula pada penerbit-penerbit buku. Hasilnya dalam kurun waktu satu dekade, lebih dari 800.000 judul buku sudah diajukan ISBN melalui perpusnas. Angka ini menjelaskan dalam kurun waktu tersebut ada 80.000 judul buku pertahun yang telah didaftarkan dan mendapatkan ISBN. Hal tersebut menjadi tanda positif perkembangan buku di Indonesia, serta memberikan indikator baik bagi literasi Indonesia. Penerbitan menjadi salah satu industri atau sektor bisnis yang cukup berkembang baik secara ekonomi maupun industri kreatif.

    Tantangan berikutnya setelah berkembang secara kuantitatif jumlah buku yang tersedia adalah kualitas buku yang tersedia apakah telah memenuhi standar perbukuan secara teknis maupun kualitas konten dalam buku. Industri kreatif ini mencoba mengoptimalkan pencapaian ekonomi untuk menghasilkan karya yang bernilai materialistik serta seni secara bersamaan. Penerbit Bentala akan konsisten memberikan layanan dengan tetap menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan unsur seni kreatif. Untuk informasi layanan penerbitan buku penerbit bentala disini.


    0 Comments

    Leave a Reply

    Avatar placeholder

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Chat ke Ben!
    Ada yang bisa kami bantu?
    Halo 👋
    Salam literasi...
    Ada yang bisa bentala bantu?